Bioskop merupakan usaha yang menjalankan tontonan film dalam gedung dengan biaya dibayar oleh penontonnya. Ruangan bioskop yang terdiri dari satu atau lebih disebut dengan Sineplex.
Balai Pusat Statistik (BPS) menginformasikan pada tahun 1989 ada 2.124 gedung bioskop di Indonesia. Pemasukan dari bioskop mencapai Rp 159 milyar dari 1,8 juta pertunjukan dengan jumlah penonton mencapai 146 juta orang. Pemasukan tersebut lebih banyak daripada pada tahun 1984. Direktorat Pembinaan Film waktu itu di bawah Departemen Penerangan RI menyatakan produksi film nasional semakin meningkat tahun.
BPS juga menginformasikan bahwa pada tahun 1993 gedung bioskop di Indonesia berjumlah 2.148 lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun 1989. Pemasukan meningkat menjadi 362 milyar yang diperoleh dari 179 juta penonton dan 3,2 juta pertunjukan.
Pada tahun 1986, Bali mempunyai 46 gedung bioskop dengan 20.521 tempat duduk. Pada saat itu jumlah penonton diperkirakan 1.588 dan ada 273 film yang diputar. Tiket masuk masih berkisar Rp 1.185. Uang pemasukan dari bisnis gedung bioskop waktu itu mencapai Rp 1.882.000.000 hanya untuk daerah Bali.
Namun, gedung bioskop waktu itu menyusut menjadi 28 gedung dengan 10.713 tempat duduk. Saat pada tahun 1989 dengan 42.400 pertunjukan. Film yang diminati pemirsa Bali pada tahun 1993 yaitu film drama 24,65 persen dan aksi 26,59 persen.
Sayangnya, bioskop di Bali pada tahun 2009 hanya dua buah gedung Sinepléks yakni Wisata Cineplex 21 di Denpasar dan Galleria di Kuta. Bioskop semakin berkurang karena perkembangan teknologi yang semakin pesat, seperti temuan kaset video, parabola dan banyaknya televisi swasta yang membeli film dari luar negeri dan rumah-rumah produksi. Film sinetron di TV sekarang sudah mampu mengalahkan produksi film layar lebar.
Menurut Alfin Nasuchi, Manajer Wisata Cinepleks 21, konsep Bioskop 21 (Twenty One) yang dibangun agar para penonton mendapatkan alternatif tontonan film yang lebih variatif dan pelayanan lebih baik. Wisata 21 sekarang mempunyai empat layar dan 500 kursi. Wisata Cineplex 21 ditonton antara 15-20 ribu penonton tiap bulan. Pemasukan yang dapat diperoleh berkisar Rp 150-200 juta dari penjulan tiket. Fasilitas yang dimiliki antara lain digital audio (Wisata 1), Dolby Stereo (Wisata 2 dan 3), serta Mono Audio (wisata 4). Bioskop banyak yang tutup karena biaya operasional besar dan adanya film-film VCD atau DVd bajakan. (Wawancara, November 2007).
Gaya Hidup
Bagia banyak orang, menonton film di bioskop adalah bagian dari gaya hidup. Luh Gede Yastini, SH, (27th), aktivis dan juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, salah satu penikmat film di bioskop. Dia senang sekali menonton bioskop. ”Sensasi yang diperoleh dengan menonton film di gedung bioskop, TV atau DVD tentu saja berbeda,” katanya.
Apalagi, lanjut Yastini, gedung bioskop kini telah dilengkapi special efek sehingga menonton Film ”Lord Of The Ring” atau terasa seperti sungguhan. Lagipula bioskop tidak sekadar menonton film, melainkan merupakan ruang untuk bersosialisasi dan berekreasi dengan kawan-kawan”.
Bioskop juga menjadi sarana untuk menyenangkan orang lain. Endi (26th) dari Tuban, Badung dan Sugiarta (27th) dari Kesiman sama-sama mengatakan, ”Bioskop bagi saya hanya untuk menyenangkan pacar.” Dia mengaku lebih suka menonton film di rumah dan membuat rumah serasa seperti ’home theather’ dengan menonton DVD daripada menonton di bioskop.
Sebagian orang mengenang bioskop sebagai bagian dari masa lalu. Dayu Karang (68th) asal Buleleng dan tinggal di Denpasar bernostalgia tentang bioskop di Singaraja pada tahun 1958-an. Tiap Sabtu dia bisa menonton di bioskop samping sekolahnya, SMA Baktiyasa di Jalan Ngurah Rai, Singaraja. Di sana ada Bioskop Maya, milik Anak Agung Pandji Tisna. Kalau tidak di Bioskop Maya, dia menonton di Bioskop Wijaya. Di Kampung Tinggi, Singaraja juga ada bioskop bernama Singaraja Theather. Harga tiket masuk berkisar Rp 100 hingga Rp 125 pada saat itu. “Orang kaya menonton di balkon, kelas ekonomi duduk di dek,” katanya. Di sana juga ada kafetaria tempat orang membeli makanan.
Bioskop juga merupakan tempat ajang untuk menampilkan fashion sesuai nafas jaman pada waktu itu. Dayu Karang menuturkan fashion di Singaraja pada tahun 1960an di Buleleng. Pada zaman itu, tuturnya, perempuan pergi ke gedung bioskop menggunakan busana bergaya Eropa seperti Zaman Victoria yang disebut dengan ’kénkén’. Para pria mencukur rambutnya bergaya Elvis Presley dan bercelana biru benhur (seperti judul film asing : Benheur), dengan model cut bray. Sebagai ibukota Sunda Kecil, Singaraja waktu itu sudah modern karena mendapat pengaruh Barat.
Film yang banyak ditonton di bioskop adalah film India dan film Barat. Pemain India yang terkenal tahun 1960-an, misalnya, Raj Kapoor, Sami Kalla, dan Amita Bachan. Film Barat favorit Karang adalah ”Gun of Navaron dan Mogambo” dan aktor favorit waktu itu Charles Bronson dan James Kelly. “Selain itu saya juga menyukai aktris Eva Gardner dan Marilyn Monroe,” tambahnya.
Pada tahun 1980an, daerah lain di Bali juga mempunyai bioskop. Ngurah Karyadi asal Kabupaten Jembrana menceritakan tentang bioskop di Jembrana. ”Pada tahun 1980an hingga tahun 1990an, Jembrana mempunyai Bioskop Wijaya di barat jembatan Tukad Ijo Gading dan Bioskop Negara di timur jembatan itu,” katanya. Film India banyak diputar di Bioskop Wijaya. Namun kalau senang film action atau film Barat tempatnya ada di Bioskop Negara. Pada masa itu, bioskop menjadi semacam ’meeting point’ anak-anak muda Jembrana. “Sayangnya, kini bioskop itu sudah hilang dan digantikan dengan pertokoan,” keluh Karyadi.
Kadek Agus Darmawan (20th) asal Klungkung menceritakan tentang bioskop yang pernah ada di Klungkung. Gedung bioskop Sinar Theather di Jalan Flamboyan Klungkung kini telah beralih fungsi menjadi sarang burung walet.
Agung Wardana, 29 tahun, asal Tabanan menginformsikan bahwa di Tabanan juga ada dua bioskop yaitu Bali Theather terletak di Pasar Tabanan dan Bioskop Tabanan theather. Namun, kedua bioskop itu kini tidak beroperasi lagi. Bioskop di Bali banyak yang mati. [b]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar